Malam selalu sajah membawa keharuan dan kesadaran yang begitu sangat melimpah, sampai – sampai tumpah, karena aku tak tahu apakah ini sebuah berkah atau sebuah ratapan.
Setiap kata yang terucap dari mulutmu hingga menjadi suatu kalimat yang utuh untuk aku dengar. Hanya lontaran kalimat penyelasan, makian dan cemoohan sampai – sampai aku lupa, apakah itu peringatan atau pujian untukku?
Tak mengapa, jika kau tak menganggapku sebagai manusia. Setiap hinaan yang terlontar dari mulutmu, hingga sampai terdengar oleh telingaku, lalu di ingat oleh memoryku dan berujung pada rasa sakit di bagian dadaku.
Kebersamaan kita bukan untuk memahami sifat atau kelakuan satu sama lain, namun salah satu dari kita harus menjadi manusia yang ingin di mengerti tanpa ada rasa bagaimana kita harus mengerti.
Salah satu dari kita harus menjadi budak, atas dasar egoisme dan arogansi. Jika salah satu dari kita tidak ingin ada yang menjadi budak barangkali keduanya akan merasa tersakiti oleh tingkah laku yang tak tau mana yang benar dan mana yang salah !
Namanya budak, dia harus tunduk atas perintah majikan. Majikan tidak pernah ingin tau alasan mengapa kita membangkang !. Tidak ada kebenaran untuk para budak dan pembelaan yang di lakukan adalah kesalahan yang begitu fatal.
Posisiku di sinih sebagai budak, demi kekasih yang aku sayangi aku rela menjadi binatang yang berjalan dengan dua kaki, yang mempunyai pikiran dan perasaan.
Apa lagi yang harus ku perbuat? Selain tunduk patuh dan mengiakan setiap hujahnya. Tak ada kompromi untuk para budak, tak ada kebebasan berpendapat untuk para budak dan tak ada pembelaan untuk para budak.
Aku hanya bisa menahan rintihan rasa sakit dengan senyuman. Menahan amarah dengan tawa. Menahan marah dengan tangisan. Tak ada lagi yang bisa ku perbuat, barangkali hanya sepenggal doa yang bisa ku ucap “Tuhan berilah dia kebahagiaan, berilah dia rezeki yang berlimpah, berilah dia kesehatan dan jangan samapi dia merasakan kesakitan seperti diriku“.
Aku menelan semua hujah yang terlontar dari mulutmu dan mengikhlaskan apa yang sudah menyakitu. Aku hanya ingin berdialog dengan kesunyiaan, berbicara lewat kehampaan dan berlari dalam gelap yang begitu pekat.
Demi kekasih, aku rela tersisih.
Demi kekasih, aku rela ternegasikan.
Demi kekasih, aku rela terhinakan.
Demi kekasih, aku rela tercampakan.
Demi kekasih, aku rela merawat rasa sakit.
Demi kekasih, aku rela tertawa dalam duka.
Demi kekasih, aku rela bahagia dalam pilu.
Demi kekasih, aku rela teraleniasi.
Wahai kekasih barangkali suatu hari nanti ketika aku tiada, engkau bisa memaknai apa itu kesabaran dan pengorbanan. Dengarlah kekasih, barangkali di suatu hari nanti kau akan susah mendapatkan aktor seperti diriku.
Ketika kau menyadari suatu waktu nanti, dan kau bertanya pada se-onggok jasad di hadapanmu, mengapa aku bisa menjadi budak yang setegar ini ? Inilah sandaran dan kalimat yang menjadi penyanggah mengapa aku tidak rapuh dan tumbang “Bahwa Tuhan selalu bersama dengan orang – orang yang hancur hatinya“